bismillah

//go.ad2up.com/afu.php?id=765669

Bismillah

switch

Saturday, December 20, 2014

Dicari: Yang Lebih Gila Dari Gayatri



 “Bukankah batasan kemungkinan hanya dapat diartikan ketika kita mampu menembus ketidakmungkinan?
-Sir Arthur Clarke

       
Di penghujung bulan oktober, Negara kita mempunyai seabrek agenda kenegaraan. Mulai dari pelantikan Anggota Dewan, Presiden dan Wakil Presiden sampai pada persoalan nomenklatur dan peresmian kabinet. Di akhir bulan ke 10 pula, seharusnya kita mempringati bulan bahasa dan sastra dengan seremoni perenungan guna menemukan kembali makna sumpah pemuda.
Duka, siapa tahu kapan datangnya?. Momentum berbahasa tahun ini harus diliputi oleh kepergian putri bangsa yang mempunyai gemilang prestasi di bidang bahasa. Ya, Gayatri Wailisia Anak ajaib penyandang gelar poliglot yang menguasai tidak kurang dari 14 bahasa internasional. Beliau sosok teladan di usia belia.       
Memudarnya Pesona Bahasa
Seolah melengkapi lara, Gayatri pergi ketika kedewasaan pelajar muda bangsa mengalami ujian serius. Pengabaian penggunaan bahasa baku menjadi alai-belai. Jauh bergeser jika berkaca pada tahun 1928 silam. Kesakralan pakta sumpah pemuda menghasilkan potensi maha yang mampu menyulap kusir menjadi juru usir konial belanda. Ditangan pemuda yang sastrawan seperti Muhammad Yamin, Soegondo Joyopuspito, dan Amir Syarifuddin bahasa menjadi medium pemersatu bangsa.
Kontras keadaan jika menilik bahasa dan kesusastraan hari-hari ini. Kita mendengar dan melihat justru, kaum cendikia terpelajar lebih aktif dan pandai meremehkan unsur bahasa. Pelajar menjadi agen pengubah dan pengubah rusaknya penulisan dan pelafalan kosa kata. “Kali menjadi Kelles”, “Memang menjadi emang” “Kamu menjadi elu”, “saya menjadi gue” adalah deretan kata baku yang bias makna. Dengan alasan lebih simpel, mudah, dan agar tidak dikata ketinggalan zaman kaum muda menginjak martabat bahasa.
Hal ini kemudian melahirkan ruang renung antitesis, jika 86 tahun lalu bahasa Indonesia berperan menyatukkan bangsa, bukan tidak mungkin sekarang bahasa alay yang akan memecah belah bangsa. Nilai-nilai esensi integrasi linguistik diremehkan oleh anak bangsa sendiri. Ironis bin dilematis!.
Endemi Tuna Literasi
     Fenomena tersebut belum seberapa jika kita membuka mata di kehidupan sehari-hari, Stasiun, terminal, halte, ketika mengantri, muda-mudi kita lebih nyaman menunggu dengan termangu, ngobrol atau asyik dengan gadged dan medsos. Bahasa dan budaya baca sama sekali belum tersentuh. Kemampuan membaca yang diajarkan di sekolah (dulu) praktis hanya digunakan apabila ada rambu-rambu: “No Smoking Area”, “Dilarang Parkir”, “Toilet” tidak lebih. 
     Hal tersebut dapat kita cocokan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 masyarakat Indonesia gemar menonton televisi mencapai 91,68 persen. Sisanya yakni 8,32 persen adalah kutu buku, kutu koran dan kutu majalah. Angka ini yang kemudian melahirkan rasio 1:45. Yakni 1 orang gemar membaca bersanding dengan 45 orang yang tidak suka membaca. Duh malang nian bangsaku!.         

Mencari Yang Lebih Gila Dari Gayatri
            Dengan meninggalnya dara ambon pada 23 Oktober 2014, publik terhenyak. Secepat itu putri yang mampu mendecak kagum dengan pidato dan pengusaannya atas 14 bahasa mangkat di usai yang baru 16 tahun. Gayatri adalah sosok inspiratif bagi pemuda Indonesia. sejumlah penghargaan tingkat nasional dan internasional disabet seperti: juara medali perunggu Olimpiade Sains Astronomi (2012), mewakili Konferensi ASEAN (2012), delegasi tunggal Indonesia di konferensi ASIA-Pasifik Nepal 2013, dan Kick Andy Young Hero 2014.
      Gayatri seolah ingin berkata bahwa kualitas manusia Indonesia bisa di atas rata-rata. Yang perlu diadopsi dari Gayatri bukanlah prestasi. Melainkan usaha mandiri yang mampu keluar dari jeratan keterbatasan. Untuk belajar 14 bahasa Gayatri tidak butuh laboraturium mutakhir, kamus digital dan melancong  keluar negeri. Usaha sederhana yang dilakukan hanya membaca buku, berbicara di depan cermin, mendengarkan lagu, dan menonton film.
Indonesia membutuhkan pemuda yang lebih gila dari Gayatri. Tentang mimpi, cita-cita, usaha dan prestasi. Tidak terbatas pada bahasa, tapi jiwa idealis yang gigih bekerja dan belajar dengan membongkar pakem dan out of the box mampu mencipta semua.
Mencari figur gayatri-gayatri baru bukanlah soal “memeluk gunung, apadaya tangan tak samapai”. Dengan konsep Lenguage is custom, Pengusaan bahasa bukanlah bakat, melainkan pembiasaan yang menjadikan bisa. Masyarakat, pecinta literasi dan bahasa serta pemerintah hanya membutuhkan langkah yang terstruktur dan terukur. Apresiasi berupa ruang berkreasi, pendirian rumah bahasa, sanggar kursus bahasa, penyuluhan bahasa internasional keliling adalah sebagian opsi yang dapat dijadikan payung melahirkan remaja poliglot-poliglot. Nah, dengan optimis pada sistem dan sumber daya manusia (SDM), bukan tidak mungkin sebentar lagi Indonesia akan melahirkan generasi-genarsi yang lebih gila dari gayatri. Semoga!. Muhammad Zulianto. (*)





0 comments:

Post a Comment