“Bukankah
batasan kemungkinan hanya dapat diartikan ketika kita mampu menembus
ketidakmungkinan?”
-Sir Arthur Clarke
Di penghujung bulan oktober, Negara kita mempunyai
seabrek agenda kenegaraan. Mulai dari pelantikan Anggota Dewan, Presiden dan
Wakil Presiden sampai pada persoalan nomenklatur dan peresmian kabinet. Di
akhir bulan ke 10 pula, seharusnya kita mempringati bulan bahasa dan sastra
dengan seremoni perenungan guna menemukan kembali makna sumpah pemuda.
Duka, siapa tahu kapan datangnya?. Momentum berbahasa
tahun ini harus diliputi oleh kepergian putri bangsa yang mempunyai gemilang
prestasi di bidang bahasa. Ya, Gayatri Wailisia Anak ajaib penyandang gelar poliglot
yang menguasai tidak kurang dari 14 bahasa internasional. Beliau sosok teladan
di usia belia.
Memudarnya Pesona Bahasa
Seolah melengkapi lara, Gayatri pergi ketika
kedewasaan pelajar muda bangsa mengalami ujian serius. Pengabaian penggunaan
bahasa baku menjadi alai-belai. Jauh bergeser jika berkaca pada tahun 1928
silam. Kesakralan pakta sumpah pemuda menghasilkan potensi maha yang mampu
menyulap kusir menjadi juru usir konial belanda. Ditangan pemuda yang sastrawan
seperti Muhammad Yamin, Soegondo Joyopuspito, dan Amir Syarifuddin bahasa
menjadi medium pemersatu bangsa.
Kontras keadaan jika menilik bahasa dan kesusastraan
hari-hari ini. Kita mendengar dan melihat justru, kaum cendikia terpelajar lebih aktif dan pandai meremehkan unsur bahasa. Pelajar menjadi agen pengubah dan pengubah rusaknya
penulisan dan pelafalan kosa kata. “Kali menjadi Kelles”, “Memang menjadi
emang” “Kamu menjadi elu”, “saya menjadi
gue” adalah deretan kata baku yang bias makna. Dengan alasan lebih simpel, mudah, dan agar tidak dikata ketinggalan zaman kaum muda
menginjak martabat bahasa.
Hal ini kemudian melahirkan ruang renung antitesis,
jika 86 tahun lalu bahasa Indonesia berperan menyatukkan bangsa, bukan tidak
mungkin sekarang bahasa alay yang akan memecah belah bangsa. Nilai-nilai esensi
integrasi linguistik diremehkan oleh anak bangsa sendiri. Ironis bin
dilematis!.
Endemi Tuna Literasi
Fenomena tersebut belum seberapa jika kita membuka
mata di kehidupan sehari-hari, Stasiun, terminal, halte, ketika mengantri, muda-mudi
kita lebih nyaman menunggu dengan termangu, ngobrol atau asyik dengan gadged
dan medsos. Bahasa dan budaya baca sama sekali belum tersentuh. Kemampuan
membaca yang diajarkan di sekolah (dulu) praktis hanya digunakan apabila ada rambu-rambu:
“No Smoking Area”, “Dilarang Parkir”, “Toilet” tidak lebih.
Hal tersebut dapat kita cocokan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 masyarakat Indonesia gemar menonton televisi mencapai 91,68 persen. Sisanya yakni 8,32 persen adalah kutu buku, kutu koran dan kutu majalah. Angka ini yang kemudian melahirkan rasio 1:45. Yakni 1 orang gemar membaca bersanding dengan 45 orang yang tidak suka membaca. Duh malang nian bangsaku!.
Hal tersebut dapat kita cocokan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 masyarakat Indonesia gemar menonton televisi mencapai 91,68 persen. Sisanya yakni 8,32 persen adalah kutu buku, kutu koran dan kutu majalah. Angka ini yang kemudian melahirkan rasio 1:45. Yakni 1 orang gemar membaca bersanding dengan 45 orang yang tidak suka membaca. Duh malang nian bangsaku!.
Mencari Yang Lebih Gila Dari Gayatri
Dengan meninggalnya dara ambon pada 23 Oktober 2014,
publik terhenyak. Secepat itu putri yang mampu mendecak kagum dengan pidato dan
pengusaannya atas 14 bahasa mangkat di usai yang baru 16 tahun. Gayatri adalah
sosok inspiratif bagi pemuda Indonesia. sejumlah penghargaan tingkat nasional
dan internasional disabet seperti: juara medali perunggu Olimpiade Sains
Astronomi (2012), mewakili Konferensi ASEAN (2012), delegasi tunggal Indonesia
di konferensi ASIA-Pasifik Nepal 2013, dan Kick Andy Young Hero 2014.
Gayatri
seolah ingin berkata bahwa kualitas manusia Indonesia bisa di atas rata-rata. Yang
perlu diadopsi dari Gayatri bukanlah prestasi. Melainkan usaha mandiri yang
mampu keluar dari jeratan keterbatasan. Untuk belajar 14 bahasa Gayatri tidak
butuh laboraturium mutakhir, kamus digital dan melancong keluar negeri. Usaha sederhana yang dilakukan
hanya membaca buku, berbicara di depan cermin, mendengarkan lagu, dan menonton
film.
Indonesia membutuhkan pemuda yang lebih gila dari
Gayatri. Tentang mimpi, cita-cita, usaha dan prestasi. Tidak terbatas pada bahasa,
tapi jiwa idealis yang gigih bekerja dan belajar dengan membongkar pakem dan out
of the box mampu mencipta semua.
Mencari figur gayatri-gayatri baru bukanlah soal
“memeluk gunung, apadaya tangan tak samapai”. Dengan konsep Lenguage is
custom, Pengusaan bahasa bukanlah bakat, melainkan pembiasaan yang
menjadikan bisa. Masyarakat, pecinta literasi dan bahasa serta pemerintah hanya
membutuhkan langkah yang terstruktur dan terukur. Apresiasi berupa ruang
berkreasi, pendirian rumah bahasa, sanggar kursus bahasa, penyuluhan bahasa
internasional keliling adalah sebagian opsi yang dapat dijadikan payung melahirkan
remaja poliglot-poliglot. Nah, dengan optimis pada sistem dan sumber daya
manusia (SDM), bukan tidak mungkin sebentar lagi Indonesia akan melahirkan
generasi-genarsi yang lebih gila dari gayatri. Semoga!. Muhammad Zulianto. (*)